Proletariat

Penulis: admin

10 Januari 2019

Proletariat

Dalam benak manusia modern “kemajuan pembangunan” bisa dianggap sebagai sebuah keharusan. Demi untuk mencapai kehidupan yang lebih mudah dan praktis. Dimana dapat dipastikan teknologi masuk di dalamnya dan manusia cenderung semakin mekanistik menjalani hidup, tak ada waktu sia-sia, semua hal dikerjakan dengan cepat agar efisiensi dapat di raih.

Tapi di situlah tahap peralihan makhluk organik seperti manusia secara paksa berubah menjadi sesuatu yang boleh dikatakan pasif, monoton, tidak lagi orisinil dan dinamis. Meskipun secara terbuka realitas menunjukan seolah-olah bahwa manusia terus melaju sampai tidak mengetahui batas dimana ia harus berhenti. “Ilusi”.

Tiada lain manusia (modern) memasukan diri ke dalam jeruji paradoks. Ia tidak lagi membangun imajinasi, melainkan ilusi berbentuk labirin yang entah dimana pintu keluar dari tiap alur yang dilalui.

Kapan semua itu berhenti ?

Akan ada titik dimana manusia merasa lelah dan muak. Pada tahap ini ia baru menyadari menara gading yang ia harapkan adalah lubang kubur yang teramat dalam. Kontestasi dalam dunia kerja hanya menyisakan lara bagi dirinya juga pesaing-pesaingnya. Permusuhan, total berubah menjadi solidaritas tak terbantahkan. Kekuatannya sulit dibendung, dan Boom! Waktu menepati janjinya tentang penjungkirbalikan kelas yang telah diramalkan sang nabi komunis. Bim salabim.

“Sosialisme.. sosialisme! Barang siapa yang mengendaki sepotong roti dan masa depan. Serang!”

Di bumi Eropa Timur ratusan bahkan ribuan orang-orang yang mengatakan dirinya komunis; membangun barikade di barisan depan, disusul dari belakang infanteri-infateri karbitan menghambur-menembaki Tsar beserta antek-anteknya. Tsar dan segenap pengikutnya seketika lari terkentut-kentut; prat-pret-prot bunyinya.

Sejarah berubah rona. Seolah tak ingin disebut naif, ia berkesempatan kembali untuk mencatat manusia kelas bawah yang memenanginya. Bagai piala bergilir, sejarah tak mau kalau melulu di tangan Alexander Agung, atau Umayyah Ibnu Sufyan, atau Harun Ar-asyid yang kesohor dalam cerita seribu satu malam itu. Atau romantisme Romeo dan Juliet. Ya, kali ini ia membuktikan bahwa ia bisa bersikap adil. Ia bisa saja mencatat keangkuhan dan kekejaman Fir’aun, tapi ia juga tak segan mencatat Musa serta perjuangan kaumnya, sebagaimana ia mencatat perjuangan kaum Mustadh’afin di bawah pimpinan Muhammad SAW.

Tapi, sejarah juga (seolah) punya prinsip tersendiri. Ia tak mungkin terus berada pada satu pakem kemenangan dari suatu kelas. Untuk menjaga keseimbangan kosmos, ia berkewajiban untuk memberikan kelas sebelumnya hak membalas dendam terhadap kelas yang tengah berkuasa.

 

Namun pada zaman ini ada dua kemungkinan revolusi fisik tidak terjadi. Pertama, keterasingan (alineasi) telah sirna dari klas pekerja. Yang kedua, sejarah ingin membuat sejarahnya sendiri bahwa ia tak berbuat apa-apa.

~9 Januari 2018

Komentar Terbaru

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    New Article