PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) SOLUSI YANG KE-BLINGER
Era globalisasi merupakan era dimana semua sektor berubah: baik ekonomi, teknologi, budaya dan lain sebagainya. Globalisasi mendorong negara menjadi konseptor yang siap membentengi dampak globalisasi. Dampak globalisasi yang sangat terasa ketika masuk dalam masalah ekonomi, terutama masalah pembangunan.
Pembangunan merupakan salah satu dari manifestasi globalisasi, dimana pembangunan memaksa intitusi berubah mengikuti kemajuan zaman. Pada dasarnya, perubahan suatu era ke era lain ditentukan oleh ketidak-seimbangan antara teknologi dan intitusi. Teknologi berubah begitu cepat daripada intitusi, sehingga memaksa intitusi ikut menyeimbangkan perubahan teknologi.
Di Indonesia sendiri, rencana pembangunan begitu gencarnya di galangkan oleh pemerintah, seperti program MASTERPLAN, MIFFE dan lain sebagainya. Program tersebut berupaya untuk menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan intitusi. Sehingga pemerintah membuat rencana tersebut untuk menginterkoneksikan setiap daerah, agar bisa menyeimbangkan internal intitusi dengan teknologi.
Apabila dilihat dari kacamata penataan ruang negara (insfrastruktur), itu terlihat baik-baik saja. Akan tetapi, apabila suatu pembangunan dilakukan diatas tanah yang produktif, di sanalah letak permasalahannya. Pada dasarnya, menurut Thomas Robert Malthus perkembangan tanah dan manusia itu terdapat kesenjangan yang sangat jauh. Perkembangan manusia sesuai dengan deret ukur geometric progressiondari 2 ke 4, 8, 16, 32 dan seterusnnya. Sedangkan perkembangan tanah sesuai dengan deret hitung arithmetic progression, dari 2 ke 4, 6, 7, 8 dan seterusnya.
Perkembangan antara tanah dan manusia begitu jauh perbedaannya, sehingga apabila tanah produktif dijadikan lahan pembangun. Sedangkan manusia makan dari tanah tersebut, disinilah letak kesenjangannya. Produktivitas manusia begitu pesat, akan tetapi lahan yang dijadikan modal untuk mereka hidup semakin berkurang, maka disana akan timbul degradasi ekonomi.
Melihat semua itu pemerintah harus mengantisipasinya, karena lambat laun Indonesia akan mengalami degradasi ekonomi. Namun, antisipasi pemerintah indonesia terlihat berat sebelah. Hal ini dapat kita lihat ketika pemerintah memandang bahwa kemiskinan terjadi karena pertumbuhan populasi penduduk Indonesia begitu tinggi, sehingga tidak bisa menyeimbangkan dengan pertumbuhan populasi alam dan akhirnya terjadi kemiskinan. Dalam hal ini pandangan pemerintah melihat faktor produktivitas kelahiranlah yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Sehingga dalam mengantisipasi semua itu pemerintah mencoba menimalisisr angka kelahiran dengan program (KB) keluarga berencana.
Teori Malthusian sangat berpengaruh dalam pandangan ekonomi Indonesia yang menitik beratkan pertumbuhan populasi manusialah yang membuat degradasi ekonomi. Sehingga antisipasi dalam menimalisir angka kelahiran dengan KB. Pada masa orde baru program (KB) keluarga berencana sangat gencar diganglangkan salah satunya oleh tokoh Neomalthusian Indonesia, Masri Singarimbun. Dia melihat kemiskinan di daerah pedesaan begitu kronis karena populasi penduduk terus meningkat, sehingga dia menginisiasi pengendalian populis dengan KB. Selain itu program pada masa orde baru dalam mengangkat populasi pangan dengan teknologisasi pertanian atau revolusi hijau dan pemerataan penduduk dengan transmigrasi.
Melihat semua itu, kita berargumen bahwa antisipasi pemerintah dalam menjawab degradasi ekonomi sangat berat sebelah. Pemerintah hanya melihat dalam satu pandangan yang itu bukan titik pokok permasalahan, sehingga antisipasinya pun tidak bisa menjawab permasalahan. Hemat penulis melihat bahwa pokok permasalahan yang di asumsikan pemerintah yakni populasi masyarakatnya itu sendiri. Namun kalau kita lihat masyarakat adalah objek yang mengalami kemiskinan bukan subjek yang menciptakan kemiskinan. Hal ini dapat dilihat ketika kita menggunakan pandangan Marxis tentang filsafat kerja. Kerja menurut Marx adalah kebutuhan semua individu sebagai bentuk perealisasian dirinya. Namun bagaimana individu bisa merealisasikan dirinya dengan kerja, sedangkan salah satu syarat kerja harus mempunyai alat, terutama tanah sebagai alat kerja bagi masyarakat.
Kita ketahui bahwa seseorang bekerja ketika dia ada sesuatu yang akan dia kerjakan, apabila lahan yang menjadi modal utama masyarakat bekerja hilang, terus apa yang akan mereka kerjakan, atau mereka sengaja dikerjai untuk dipekerjakan dalam pabrik korporasi. Ketika masyarakat tidak punya pekerjaan dan terjadilah kemiskinan, lalu mereka disalahkan akibat terlalu produktivitas dalam kelahiran, sehingga pemerintah tidak bisa mensejahterakan masyarakat. Sedangkan masyarakat hanyalah objek dari para subjek yang mengambil lahan mereka, yang seharusnya pemerintah bisa mengantisipasi para subjek yang mengambil lahan mereka bukan membantunya.
- One dimention in economic
Ketika kita melihat sistem pembangunan indonesia yang selalu menitik beratkan pada kemajuan ekonomi atau bisa disebut ekonomi develoment. pembangunaan Indonesia hanya menitik beratkan pada kemajuan ekonomi, namun kalau kita lihat esensi sebuah pembangunan tidaklah sesempit itu, karena pada dasarnya pembangunan untuk manusia jadi adanya pembangunan untuk kesejahteraannya. Pandangan satu dimensi yang di katakan Herbert Marcuse memang sangat cocok dalam melihat pembangunan Indonesia, hal ini bisa dilihat dalam realisasi pembangunan melihat kausalitas GNP (gross national product). Kalkulasi GNP dibuat oleh pemerintah atau korporasi yang membelakangi pembangunan tersebut, bertujuan untuk menutupi kebobrokan dalam jalannya pembangunan. Kenapa saya bilang pembangunan Indonesia bobrok, karena memang pambangunannya hanya menggunakan satu paradigma tanpa melihat paradigma lain yang padahal justru lebih vital. Ketika kita melihat bahwa pembangunan untuk kesejahteraan, akan tetapi realitanya dampak pembangunan malah merusak bagi masyarakat yang berdomisil di tempat pembangunan tersebut. Contoh halnya pembangunan MIFFE yang ada di Papua, rakyat suku malind disana bahkan tidak pernah merasakan dampak positif pembangunan melainkan mereka hanya mendapat kerusakan alam yang menjadi ladang kehidupannya. Justru ini penyakit yang sangat vital sekali, karena pembangunan malah mengusir kehidupan rakyat Indonesia. Terus pertanyaannya pembangunan itu untuk siapa? apabila rakyat tidak dianggap.
Kalau kita lihat pembangunan yang menjadikan GNP sebagai final kehidupan, justru kita mereduksi pembangunan tersebut. Pembangunan itu untuk manusia, sedangkan dalam istilah “manusia” tidak bisa bahagia hanya dengan pemuasaan materi saja, karena ada sisi rohani didalamnya. Istilah tersebut menunjukan kita tidak bisa mencapai titik akhir tujuan hanya dengan kalkulasi materi semata, apalagi yang membuat kalkualasi tersebut para korporasi yang belum tentu tahu keadaan rakyat Indonesia. Memang dalam melakukan kesejahteraan perlu juga pandangan dalam bentuk materi, namun itu bukan menjadi tujuan akhir melainkan proses dari sekian bentuk kesejahteraan. Alhasil apabila memang menggunakan paradigma materi yang dikejar bukan kesejahteraan melainkan “bagaimana untuk mendapatkan sesuatu”. To have ini lah yang menjadikan pembangunan berat sebelah, karena yang di pikirkan hanya hasil akhir materi tanpa pertimbangan kesejahteraan, sehingga pembangunan malah menabrak norma ekologi, sosial dan humanisme.
penyunting: Abdul Majid