permata.or.id – Ibarat burung, saya ingin menjadi burung elang yang dapat terbang kesana-kemari, bukan burung kintil seperti kepunyaanya Farid yang berdiam diri dan baru bisa bangun kalau dibunyikan suara seruling
Saya masih ingat pada saban hari teman saya yang kebetulan seorang jurnalis mahasiswa, meminta saya untuk membuat beberapa tulisan. Tentang apa? Apa saja, tapi sebetulnya dia ingin agar saya menulis persoalan-persoalan kampus: politik picik organisasi dominan, Praktek KKN birokrasi, dan biaya semester yang bikin ngap-ngapan mahasiswa baru.
Usut-punya-usut, saya lebih tertarik untuk menuliskan soal politik kampus. Sebab beberapa organisasi terkait kehidupan mahasiswa ekstra maupun intra cukup akrab dengan saya. Sedang untuk tetek bengek birokrasi dan biaya kuliah, tidak saya sanggupi. Saya tak punya data.
Berjalan beberapa minggu semenjak teman saya meminta tulisan-tulisan yang dimaksud. Beberapa tulisan saya dalam bentuk essay dan opini soal politik kampus, muncul di kolom website pers kampus. Teman saya cukup merasa puas dengan tulisan-tulisan saya: “Mantap dab! Tajam dan mengolok-olok” katanya, waktu itu. Tapi di sisi lain, beberapa tulisan saya ternyata malah menyulut api. Senior-senior saya yang mempraktekan politik kurang sehat di kampus, nyatanya malah kebakaran jenggot.
Meski sebetulnya tulisan saya tak pernah menyebutkan nama orang. Tapi tetap saja mereka (senior-senior aing!) merasa tulisan-tulisan itu dialamatkan untuk mereka. Ya, akhirnya waktu itu saya habis dicaci maki, walaupun sudah saya coba klarifikasi berkali-kali, tetap saja mereka tak mau mengerti. Oh, senior-senior cocotmu maha benar ketika itu. Tapi walaupun begitu, saya cukup merasa senang, sebab tulisan saya hideng. Tahu apa yang harus dilakukannya.
Lama-lama panggilan senior-senior saya terjadi terus menerus. Mereka terbilang lumayan istiqomah membahas tulisan-tulisan saya. Sebab itu saya merasa bosan. Akhirnya saya putuskan untuk menemui teman saya, dan mengungkapakan kebosanan saya. Terus terang dia agak keberatan, mengingat hanya sedikit mahasiswa yang mau menulis soal politik kampus di media yang dia asuh. Dia menerangkan panjang lebar pada saya, kalau soal politik kampus mesti terus ada yang menulis.
Saya mulai kehabisan cara meladeni teman saya yang terkenal jago bacot dan menulis itu. Tapi dia juga sadar, tak bisa memaksa orang lain untuk mau menulis berdasarkan kemauannya. Dia menyerah untuk membuat saya tetap menulis politik kampus. Tapi malah menyarankan saya untuk menulis cerpen, yang ceritanya membahas politik kampus. Arkhhh.. sama saja dab.
Saya agak keberatan pada waktu itu. Tapi tak ada salahnya dicoba. Dibantu seorang teman yang cukup lihai membuat narasi cerita pendek, saya memulai debut menulis cerpen. Walaupun bukan pertama kalinya sih, saya menulis cerpen (saya sudah memulainya sejak SMA), tapi justru saya malah merasakan kesan ‘pertama kali’ ketika cerpen-cerpen saya dimuat di media asuhan teman saya itu.
Saya masih ingat cerpen yang pertama kali dimuat, berjudul “Gara-gara kursi.” Cerpen itu menceritakan persiteruan orang-orang dalam tubuh organisasi ekstra, yang tengah memperebutkan kursi kekuasaan kampus. Untuk kesekian kalinya teman saya memuji puas: “teruskan seperti itu dab.”
Berkat cerpen yang menurut saya gak jelas blas itu, saya seperti merasakan sensasi baru dalam hal tulis-menulis. Ternyata menulis cerita pendek mengasyikan, saya bisa mengeksplor imajinasi liar saya. Misal, saya agak kesulitan menuliskan; kontol, memek, itil. Stop! Dalam tulisan seperti opini atau essay, kalau saya coba masukan diksi-diksi macam itu, tentu saya akan dinilai a-moral. Jangan tanya tulisan ini bentuknya apa.
Kembali ke laptop! Ea…ea.. Sampai hari ini teman saya masih sering meminta saya untuk mengisi beberapa kolom di medianya. Namun sering saya tolak. Keadaan sudah berubah, setidaknya di kampus saya (aing budak UIN tea. UIN mana suaranya?) Sekarang sudah banyak mahasisiwa muda yang menulis persoalan kampus, tidak hanya soal politiknya saja, tapi juga percintaanya. Ya, aeng mahasiswa tua yang gak lulus-lulus.
***
Alkisah, setelah saya hijrah ke Permata-Yogya. Saya seperti kembali diingkatkan dengan ingatan tiga tahun yang lalu, saat saya dimintai tulisan oleh teman saya itu. Tepatnya beberapa minggu yang lalu. Dimana ketika suatu malam, Sebastian Bahtiar Ahmad Bakunin dan Dikri Hamzah (Jokowi-Ma’ruf) Amin, serta disaksikan Syahlee El-Syadawi Al-duburi. Menyodorkan secarik kertas yang berisi kesepakatan agar saya menulis cerita pendek, minimal satu dalam seminggu. Bastian, Dikri menandatangani kesepakatan itu. Kemudian disusul saya.
Begini ya dab, saya coba terangkan sedikit. Kalau boleh saya bilang, menulis itu perkara susah-susah gampang, apalagi bagi saya yang biasa menulis bebas-lepas. Kesepakatan macam itu agak mencekik. Saya teringat akan salah satu judul cerpen saya “Khayalan Pojok kampus.” Ini satu judul cerpen yang saya tulis dalam tiga bagian, kalau film mungkin bisa dibilang episode atau apalah. Cerpen ini saya tulis, terinspirasi dari sebuah novel karangan Syaikh Nizami yang berjudul “Layla & Majnun.” Karena inspirasinya dapat saya tangkap dan mood lagi bagus, cerpen itu saya selesaikan tak kurang dalam seminggu. Tempat saya menuliskan cerpen itu juga sangat mendukung, kalau tidak salah, ketika itu saya menulis di halam rumah teman saya. Imogiri, Bantul. Kebetulan tempat itu dikelilingi hamparan hijau pesawahan. Ya, saya menyukai suara jangkrik, katak, dan tenggeret. Mudah menjumpainya di daerah pesawahan daripada pantai. Kebanyakan cerpen-cerpen saya sebelumnya ditulis tak jauh dari area pesawahan. Kalau rumahmu dekat sawah, ajak saya main ya wkwk. Ngarep.
Selain inspirasi dan mood yang mesti dalam keadaan bagus. Menurut saya, motivasi/kepentingan penulis juga ikut menentukan intensitas lahirnya sebuah tulisan. Saya gak bohong, misal Karl Mark dan Friedrich Engels (jangan tuduh saya komunis karena mencantumkan nama mereka lho ya) melihat kenyataan gerakan buruh di Eropa yang pontang-panting pada zamannya. Mark & Engels memutuskan menulis sebuah karya monumental yang hingga saat ini dijadikan rujukan oleh kalangan kaum buruh maupun komunis. Apa itu? Ya, “Manifesto Komunis” terlepas dari adanya motivasi lain, yang mungkin belum saya ketahui, kepentingan Marx & Engels menulis buku tersebut benar terjadi beberapa puluh tahun. Bukunya banyak dibaca, salah satu orang yang membacanya adalah Vladimir Ilyich Ulyanov atau lebih dikenal dengan nama Lenin. Yang belum kenal sama mbah Lenin dan apa yang dilakukannya kemudian, cari tahu sendiri aja ya.
Sedikit cerita lagi ya, hihi (banyak juga gak pp kan?) Pun dengan saya, pengalaman menulis beberapa cerita Pendek tidak terlepas dari kepentingan. Harus saya akui, ada diantaranya saya tulis dengan maksud politis seperti yang sudah saya terangkan di atas. Ada pula yang saya tulis karena saya ingin berbagi cerita atau sekedar memuntahkan ceceran-ceceran imajinasi saya. Biar gak membusuk gitu.
Balik ke soal kesepakatan menulis tadi. Sebetulnya selain: inspirasi, mood, dan sejauh mana kepentingan penulis dalam menulis. Saya pribadi punya semacam ketakutan, takut tak memenuhi harapan si pembaca. Walaupun saya tahu, yang namanya penulis seharusnya bisa terlepas dari ketakutan semacam itu. Tapi, manusiawi lah ya. Bukankah manusia selalu menginginkan kesempurnaan? Duh lebay.
Terus intinya apa? Ya, sebenarnya saya kurang menyukai dinamika menulis yang mengikat. Ibarat burung, saya ingin menjadi burung elang yang dapat terbang kesana-kemari, bukan burung kintil seperti kepunyaanya Farid yang berdiam diri dan baru bisa bangun kalau dibunyikan suara seruling, gamelan dan alat-alat keketrok lainnya. Ya, tapi bagaimanapun tantangan Sebastian Bahtiar Ahmad Bakunin malam itu. Patut saya coba, persis seperti dulu ketika teman saya meminta saya menulis, saya anggap sebagai sebuah tantangan yang mesti terus dicoba. Toh, tak ada ruginya. Ditambah lagi Sebastian Bahtiar Ahmad Bakunin, ngomong begini di akhir kesepakatan selepas saya menandatangani secarik kertas itu: “Mang, mun bisa nyieun hiji cerpen dina saminggu, ku urang rek dipangmelikeun rokok Surya 12. Sabungkus !”
Jujur, waktu itu juga saya berkata dalam hati “Anyeeng tawarana edun pisan, aku mau.. aku mau qaqa”
15, Maret 2019
Gazebo Sekre Permata-YK kece!
TENTANG / KIRIM ARTIKEL / DISCLAIMER / KONTAK / BLOG / RSS