MALAKALANA

Penulis: Def

1 Agustus 2024

Oleh Azis Malik

INTRO

Beberapa orang tercipta menjadi pengecut
Beberapa di lubang tanah
Aku satu di keduanya


Kala kejayaan hadir di permukaan
Pujian menggunung agung
Kini sebaliknya berteman sunyi caci maki
Aku satu di sebaliknya


Sekali waktu meminta pasrah
Namun raga menolak lemah
Ego diri diterpa luka bertubi
Hilang segala tawa Dan imaji


Sebab dianggapnya malapetaka
Maka kutikam waktu dari sini


Saatnya mati

LELAKI YANG MEMELUK DIRINYA SENDIRI
Ada luka yang dipeluknya sendiri
juga yang lain memiliki
Ada kecewa yang dilukisnya sendiri
Juga sekitar mengusirnya
Juga tangis diusap sunyi sendiri
Sebab katanya airmata bukan untuknya


Dipaksa tegak menenggak dahaga
Sebab bising ditelinganya
“lelaki adalah apa itu pusat energi”
Ditekuknya kaki
Ditunduknya kepala
Dipeluk juga ia punya raga
Namun tak dibendung itu airmata
Sebab lirih seorang rasa
“aku juga manusia”


Lelaki itu memeluk dirinya sendiri
Bergetar penuh seluruh tubuh

badainya tak dibiarkan reda
Ia datang selebihnya sebuah bandang


Dijuluknya sendiri
Pengecut abadi!


Jauh berlabuh dibawah kaki
Tapi mimpi kian meninggi juga kenyataan kian tak dimiliki
Jalan-jalan tak sejalan memaksanya terus berjalan
Melangkah pelan dan ketakutan
Hampa sudah
dibenci kawan bahkan ia punya tuhan


Sekali, satu diantaranya
Ada duka dan luka diredam sendiri
Sebab katanya ia lelaki
Tapi aku satu diantaramu
Duduklah aku disampingmu


Menekuk kaki bersama
Memeluk erat masing-masing diri
(Sorowajan 7 maret 2020)

TOLONG IBU
Ini aku tak terarah
Ini beban menakutkan
Ini lumpuh dipaksa melangkah
Bu, kaupun demikian


Segala maaf tak surut meminta
Padamu,sang maha dan segala
Berkembang menjadi pecundang
Tumbuh segala keluh yang kian keruh
Ini lelah juga ibu punya
(Jogja, maret 2020)

ANTARA BANDARA DAN KERETA
Kita tak pernah benar-benar siap
Kala bandara mengambilmu dari pelukan
Kala stasiun memanggil para penumpang

Kau di keberangkatan
Sedang aku diantara rel, jalanan dan kehilangan
Menjelma lamunan

Kita dan siapapun diantaranya
Adalah pemeluk kekalahan


Hati-hati di perjalanan
Untuk puan, tuan dan segalanya
Ini senandung orang-orang kalah
Menunggu tiba waktu pembunuhan
(Adisucipto, 30 januari 2020)

MENUJU BANDUNG
Tiba giliranku,
Dipacunya kecemasan di tangan masinis
Membawa luka, duka, suka juga tawa manusia
Diantara lelap lelah kursi komandan
Aku tetap terlelap dalam lamunan


Kebandung katanya
Menjenguk luka duka
Menjemput suka, tawa
Didekapnya dingin yang lebih


Sementara jiwa berkelana
Ragaku dibawa ke perkara


Pulang dan mengulang
Pergi tanpa arti
Aku tak bisa tidur nona
(Karanganyar 31 januari 2020)

KURSI BELAKANG
Pengendara siang mengantarnya kepelukan
Juga demikian tangisan
O, sirine polisi
Berisik dan ancaman
Bandung mendung
Air mata tamansari masih deras tak berbalas
Tapi tangan-tangan kita
Tapi doa juga

Tegas, menolak reda

Ini tremor aksara
Di kursi belakang bis primajasa
Sebab kota tak menerima ketenangan
Kecuali kita dan orang terpinggirkan
(Pasteur, januari 2020)

TIBA DI GAPURA
Tibalah aku digapura ketakutan
Ia hampa tak bertuan
Persimpangan simpang siur
Melahirkan takut yang kuat


Orang-orang pulang dari khotbahnya
Kala langkah dihadapannya
Kita bersebrangan
Dipandangnya sinis dari tatapan
Kesucian mereka dari mataku


Aku tak berani menebak
Mawar merah merekah atau layu
Aku tak merasa pulang
(Sadang, januari 2020)

BISING
Ditatapnnya aku di mata gelas kopi tak berisi
Sunyi sejak dalam diri
Mulut rencana orang-orang tua
Menyulut kehampaan


Berbicara batu akik di jarinya,
Merek rokok di mulut gelapnya
Juga istri siapapun yang ditidurinya


Dikursi lain aku kalah dan kesepian
Memikul maaf yang menggunung
Memikul rencana penghancuran
Mencari celah udara
Dekap aku nona, tuhan
Atau kaki beralih fungsi kepemakaman
Menggali rumahnya sendiri

Lalu pulang
(Flamboyan, februari 2020)

NONA KUCING
Yang puitik adalah kepulan asap tembakau yang dihembuskan
Yang bingung adalah semua kursi tanpa isi
Yang dipandang adalah perempuan dan kucing tidur


Di seberangnya
Aku ketakutan
Aku ketidaktahuan
Nona,
Milik apa dan siapa malam ini
(Djelajah, februari 2020)

GRADASI
Hutangku menggunung dibawah Kasur
Melahirkan gunung maaf tanpa puncak
Melepaskan kupu-kupu yang mengikat diri
Duhai kebencian, pergilah ke kantor polisi


Ini kita mengakhirinya
Mencipta haru tanpa halu
Dilepasnya segala yang melapis
Kita terbang tak terarah


Mencari arah yang yang tak bermata
Tanpa angin
Mengelus lembut diujung kakinya
Terbanglah
Biar aku menggali kuburku
(Purwakarta, februari 2020)

ORANG DI DEPANKU BERULANG TAHUN
(Dari Sbastian)
Meski semua isinya hanya simbolis
Nikmatilah kawan, untuk sebentar saja
Tertawa ini pengingat akan kematian
Umur semakin berkurang
Masalah kian bertambah
Memang menyebalkan menjadi dewasa itu
Bahagialah sebentar, merenung lah sekali – kali

Kau sudah berjuang sebisamu,
Untuk sebentar saja, ingat lagi
Apa saja yang sudah kau lakukan untuk hidupmu sendiri..
Hidupmu mahal bung, walau disekitarmu membutuhkan mu
Tapi sesekali tengok dirimu, apa sudah cukup atau puaskah kau untuk dirimu sendiri.
Berbahagialah kawan, bersedih juga tak apa


Dari orang di depanmu, hehe
(Basabasi 30 juni 2019)

PERAYAAN
Kemarin hari kelahiranku
Semuanya mengejutkan
tragedi yang kucoba kubur
Mencuat kepermukaan,
melahirkan kesenangan dan kebahagiaan.
Tapi sejenak saja.
.
Kemarin hari kelahiranku, yang baru.
Aku ingin dilahirkan oleh laut hari ini saja.
Aku ingin menjadi diri ku yang sering kau terka.


Yang menjelama kata,
yang terus berusaha menggapainya.
Yang kedalamannya tak bisa kau kira, yang kau lakukan se-enaknya.
.
Kebanyakan ingin malam ini adalah kebingungan esok hari.
Selamat malam
(Ngitun 1 juli 2019)

JANGAN SENANG MALAM INI
Mula-mula aku terbaring diruang hampa,
bersandar di alas tanpa dasar
seketika mata memandang membentuk bayang
tragedi, peristiwa, melahirkan luka-luka tak bersuara
.
Berada di kejauhan kampung halaman
Menanam sakit tak berkesudahan
Pilu yang kian membiru
Menyusun kata merangkai makna
.
Sadarlah, aku bukan siapa-siapa
Tak pernah menjadi apa-apa

tak pernah kemana-mana
sebab bumi tempatku berdiri dan mati
.
Katakanlah bagaimana kau bercinta dengan diri
Sedang cermin dihadapan memaksaku pergi malam ini
Bagaimana kau sepakat bahwa bulan merah muda
Dan matahari berlapis es dalam dunia surealis
.
Menangislah denganku malam ini
Tanggalkan segala lapis kepalsuan
Bahwa kita tak bahagia
Dengarlah rintih bumi detik ini


Dan lagi
Pastikan kita sepakat dan mengakui bahwa manusia sedang memperkosanya
Mencabik, memeras seperti susu perawan tua yang habis disiksa majikannya.
Pastikan bahwa bumi bukan warisan
bumi adalah titipan
Dan kau dengar
bumi menangis
kasih menangislah denganku malam ini
adakan hajat pengakuan dosa dan pastikan
bahwa kita manusia tak berguna.
(Purwakarta, Agustus 2019)

KAU ADALAH LEBIH
Persoalan penuh bualan menjelma kehidupan
Kepastian abadi menjelma hati
Pikiran detik ini kubungkus dalam sepi


Sejauh mana aku melangkah
Kau lebih cepat dari kabur seorang bangsat
Setajam elang aku memandang
Kau tajam dalam membunuh waktu


Ketenanganku menghadap
Masih saja persoalan
Masih saja pertanyaan
Menggerayangi isi tempurung
Jadi apa aku ini.
(Jogja September 2019)

KAU TERLALU
Selalu puitis memang melihatmu mendekatiku.
Pagi, kau ajak aku bermain
hingga siang.
Bahkan sore,
kau sangat bisa membuat manusia berkata-kata
Kau terlalu bising menyembunyikan teriakan.
Kau terlalu indah dilihat sebatas bola mata.
Kau terlalu kuat untuk manusia yang berlagak penguasa.
Kau terlalu berwarna untuk hidup yang biasa-biasa saja.
Kau terlalu rendah untuk manusia yang seharusnya dibawah tanah.


Luka,suka,bahagia,duka, semua melihatmu dan menerka-nerka.
Biarkan saja, kau adalah kau.
Jika kami mengganggumu
Terkam dan percaya diri


Suara,larian,deburan,gemuruh,nyanyian adalah perintah tuhan.
Biar aku saja yang percaya padamu.
Biarkan yang lain.
.
Ah maaf, kau terlalu romantis untuk sekadar tulisan puitis.
(Ngitun, juli 2019)

SELAMA(T) PAGI
Ada yang menolak pagi
Namun pagi bukan milikku
Ada luka yang harus kusimpan
Sebab pagi tempat harapan
Ada yang memilih berselimut dan kembali bermimpi
Katanya kenyataan tak menerima alasan
(Purwakarta, Juli 2019)

LIRIK
lirik-lirik penunda hujan
dikenang kau kemarau
mencintai di pelupuk pintu
mengunci luka di muara


kica-kica menjawab tanda
ibu mati dibalik punggung bapa

MEMANFAATKAN LAUT
Terbukti?
Sudah berapa pujian yang kutulis tentangmu
Sudah berapa keluh yang mengarungi keluasanmu
Sudah berapa tangis yang tertutup nyanyian ombakmu.
Tak ada yang berubah, tapi entah, mungkin nanti.
Terimakasih, lagi-lagi.


Mencintaimu dengan kata adalah hal yang paling hina.
Tapi kata-kata ini mengalir saja dimuara hati.
Tak peduli yang keluar adalah sampah.


Ah bangsat aku ini memanfaatkanmu saja.
(Ngitun, juli 2019)

MENUDING TUHAN
Entah sombong atau peduli
Tuhan selalu menunjukannya
Dititik tertinggi dan terendah manusia mampu berpijak,
Tuhan membuat gunung lalu langit
dengan ketinggian yang tak mampu digapai manusia seutuhnya
Namun indah
Entah sombong atau peduli
tuhan menciptakan pantai lalu laut
Dengan kedalaman yang tak pernah diselami manusia seutuhnya
Namun indah
Entah sombong atau peduli
Tuhan ada disetiap yang ada dan tiada.
(Jogja 2019)

PAMAN TELAH PULANG
Tenanglah dipusara
Abadilah dalam ketiadaan, suburkan tanah yang kau tempati.
Kau sudah tuntas dalam permainan dunia,
Bawa kabar untuk tuhan bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja


Bertemulah dengan sukma-sukma kawan dan kerabat serta leluhur.
Akrablah. Biar kami menuntaskan permainan ini tapi nanti.
Kita akan menuju ketiadaan bersama.


Sampaikan pada ayahku, bahwa aku, adik dan ibu baik-baik saja, hanya rindu.
Sampaikan pada kakakmu bahwa keluarganya baik-baik saja, hanya rindu
Kita berada di rindu yang sama dalam kehidupan yang berbeda.

Bila nanti kau merindu, jangan sungkan mengetuk mimpi-mimpi manusia dalam tidurnya.
Do’a dari bapak dan ibumu mengalir dengan deras.
Do’anya tak henti-henti bergemuruh selayaknya ombak menghujam karang ditepian tanpa lelah
Langkahnya semakin mendekatimu.


Keyakinanku tak henti walau sering meragu terhadap-Nya
Abadilah dengan sukma-sukma yang lain, ia menyambutmu.
Paman,sampai jumpa dipusara.
Sampai jumpa di keabadian.
Aku diperjalanan pulang, tunggu.
(Utk kepulangan paman malam ini (Alm.sofian maulana). jum’at,magelang 5 juli 2019 )

PIKIRAN SEMPIT
Pikiranku tak lagi berteman
Ia mendingin sehabis hujan kemarin
Membiru lebam tak beraturan
Ia enggan berjalan


Selepas nafas terakhir paman
Kami sama-sama membeku
Tinta enggan mencair
Hidup dari luka duka manusia


Lagu-lagu bernada sama
Akal-akal menjaga norma
Dipeluk kekasih dan orang tua
Pikiranku sempit tak terbuka


Pikiranku bukan lagi temanku
Ia mati dilahap api asmara
(Jogja, mei 2019)

RESAPAN
Melayang senyap tanpa arah
Merangkum kata tanpa patah
Meludah wajah dengan panah
Adalah cara mencintaimu penuh gairah


Izinkan aku meratapi semua keputusan dengan asa
Malam ini saja aku membenci pecundang dalam cermin buta
Kepayang tanpa arak adalah nikmat tanpa jeda

Serangkaian imaji kukutuk jadi tai
Kubuang karna basi
Kupandang penuh simpati
Kemalangan tanpa arti
(Yogyakarta, maret 2019)

SANDIKALA
Aku tau sebenarnya kita makhluk paling lemah
Kita penakut, sangat penakut.
Aku punya bukti?


Kau tahu sandikala?
Keindahan jingga menghantar pada keindahan sementara
Setelah itu kita buru-buru menyalakan lampu, sekecil apapun
Asal ada cahaya.
Kita takut kegelapan.
Dan lupa bahwa bulan berperan di ketentraman malam


Kita takut kedinginan dan lupa bahwa berbincang
Adalah kehangatan tanpa cuan.
Kita takut pada listrik yang mati
Sinyal yang tak juga menepi
Dan takut tak dapat uang hari ini.


Tuhan kita adalah uang
Dan jika benar. Tolong belikan aku pahala untuk segera kesurga.
Haha aku tahu itu dusta.
Dan benar.
Kita makhluk penakut.
Dan
Ah tai aku cuma bisa merasakannya sendiri
(Wonosari, Juni 2019)

SEBAB JINGGA MEREDUP
Sebab jingga meredup
Sebagian dariku marah bergegas membuka pintu
Sebagian lagi makan
Sebagian lagi ke rumah tuhan
Aku sebagian dari yang pergi


Sebab jingga meredup
Ada yang buru-buru merebah

Ada yang mulai mencari sampah
Ada yang berjalan tanpa arah


Sebab jingga meredup
(Purwakarta, agustus 2019)

SEBAGIAN
Sebagian telah bermimpi
Sebagian sedang bercinta
Sebagian tengah bersedih
Sebagian menangis di hadapan tuhan
Sebagian meniup lilin ulang tahun
Sebagian kedinginan di perkotaan
Sebagian kelaparan di trotoar jalan
Sebagian masih menjalani perbudakan
Sebagian kebingungan
Sebagian kegelisahan
Sebagian terjaga tanpa teman
Masih Sebagian
Dan aku sebagian dari


Yang memeluk diri
(Purwakarta Agustus 2019)

SEBUAH HARAP
Semoga apa yang kutulis Menjelma daya guna
Diriku untuk rakyat jelata, Diriku untuk bumi pertiwi
Dan tempat khusus
Untuk ibu sampai ke anak cucu yang bercucu


Sayangku
Ada bagian untukmu ku tulis tentang rasa suka dan duka
Cita dan doa
Sampai terwujud dan nyata


Kutulis apa yang harus ku tulis
Ku lukis apa yang harus ku lukis
Bukuku
Menjelmalah aku adalah aku
Kau adalah kau
Cinta adalah cinta
Luka, duka, musuh, keluarga, ibu dan syifa

Jika bentuk memang musnah
Kan kutulis isi yang abadi


“Lahaula walaa kuwwata illa billah”
(Jogja 2018)

SELAMAT PAGI
Selamat pagi hal-hal baik
Berkuranglah hal-hal buruk
Selesailah kejahatan
Meredamlah kebencian
Tumbuhlah pepohonan
Utuhlah karang dilautan
Musnahlah pembuang sampah sembarangan
Menanamlah
Bangunlah
Kita bertemu
(Purwakarta 2019)

TITIK NADIR
berada di sebuah lembah kematian dan hidup
berada diantara pilihan hidup dan mati
hidup dengan sejuta persoalan
mati dengan sejuta ketakutan


aku menghadap sebuah pintu keabadian
aku melangkah menuju ruang pengadilan
meninggalkan sejuta mimpi dan angan-angan
menghapus sejuta jejak kenangan
aku berada diujung nadir


Sebuah jawaban tak sempat ditanyakan
Sebuah bahagia tak sempat kubagikan
Kebahagian tetaplah fana
Aku terbang mengenang suka Menyimpan duka

APOLOGIA
Baru saja kemari bunda bercerita
Romansa terjadi dimasa muda
Bergumul dijalan, berpagut tangan dan kepalan
Menggebu, menderu, berlari
Hari ini terjadi

Baru saja kemarin bunda bercerita
Kawan, lawan lari berhamburan
Sedang kenyamanan milik para dewan
Mereka berpelukan dibelai kekuasaan
Hari ini terjadi


Baru saja kemarin bunda bercerita
Bunga duka ditabur di jalan raya
Berisi rindu pada kawan yang mati
Ditembus isi peluru
Hari ini terjadi


Kemarin bunda bercerita
Keadilan bayangan semata
Kebenaran dihantam moncong senapan
Kemerdekaan milik kekuasaan
Hukum diperjual belikan
Sampah serapah dihamburkan
Kursi seharga nyawa
Suara seharga nyawa
Adil seharga nyawa
Nyawa-nyawa
Semuanya seharga nyawa
Hari ini masih terjadi


Perjuangan masih ada
Perlawanan masih ada
Suara kebenaran mengudara
Kata masih senjata


Bunda, tahukah
Hari ini masih ada
(Jogja, oktober 2019)

KITA DAN NEGARA MENGULANGNYA
Kita mengulangnya bukan bahagia
Kita mengulangnya sebab negara mengulangnya
Kita sama-sama mengulangnya


Kita mengulangnya
sebab rakyat tak juga sejahtera
sebab penguasa punya tahta

sebab juga ia pelupa
maka dari itu kita mengulangnya


negara mengulangya
sebab dulu penguasa punya tahta
sebab dulu adalah kita
sebab dulu negara pelupa
sebab negara harus sejahtera
maka dari itu negara mengulangya


kita dan negara sama-sama mengulangnya
kita dan negara adalah sama
(jogja 2019)

DIBUAT RINDU
Menuliskan tentangmu adalah pergulatan hati paling sengit seantero bumi.
Aku adalah pecundang paling sombong yang menghancurkanmu.
Aku adalah bajingan paling manis yang merampokmu.
Aku tau itu. Karena hatiku sudah menikahimu.


Merindukanmu adalah sedekah yang paling rela ku bagi dalam keheningan dan kesendirian.
Tak peduli apakah rindu kita sama.
Berbagi kasih denganmu seperti singa-singa pertunjukan yang terpaksa dan berpura-pura.


Ah sayang maaf.
Ini sebuah kebingungan yang sedang ingin kutulis.


Lagi-lagi
Aku mencintaimu dengan segenap keegoisanku.


Berada di tepi kebingungan yang puitis malam ini. Sayang,
Tolong buka pintunya, jiwaku pulang.


“Ini lewat belakang”
(Ngitun 2019)

BUKA SAJA
Sekali lagi
Membuka
Melihat
Sampai mana
Semuanya

Berjalankah

Sudah selesaikah
Atau masih ada sisa
Menjadi apa


Sekali lagi
Kujahit rapi
Menjadi aku
Sekarang
Sudahkah ?
(Basa-basi, Juli 2024)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

New Article