permata.or.idBuku adalah jendela dunia

Semua orang pasti pernah membaca/mendengar pepatah diatas, familiar bukan? Di sekolah dasar kita selalu diajarkan sesuatu hal yang ideal, atau lebih sederhanya “sesuai”. Kebanyakan disampaikan melalui melalu pepatah-pepatah seperti: menabung pangkal kaya, rajin pangkal pandai, bersih pangkal sehat, dll. Dan kita ketahui bersama kenyataannya. Seringkali pepatah tinggal pepatah, tidak benar-benar terealisasikan.

Di asrama saja, beberapa orang seringkali ditegur soal jadwal piket, dan saya salah satu orang yang paling sering ditegur (iya, aing pemalas kelas berat, saya tahu). Yang selalu saya dengar persoalan dapur dan ruang tamu, tidak sekali, berulang-ulang. Hingga kita seringkali merumuskan ulang, mengevaluasi jadwal piket, bahkan membuat sanksi bagi yang melanggar. Kapan (per)soal(an) ruang tamu dan dapur usai dibahas? Takkan pernah, selama kita tinggal serumah dan sadar bahwa yang mendiami di dalamnya adalah orang-orang yang masih hidup. Bersih, kotor lagi dan seterusnya (siklusnya berputar). Kecuali, kalau boleh saya beri tawaran yang agak ekstem. Bakar dan tinggalkan asrama.

Saya kira perhatian terhadap kebersihan sudah cukup. Kesadarannya? Kesadarannya juga sudah cukup, faktanya selalu ada yang menegur. Tapi apa iya kita akan terus membicarakan soal kebersihan? Seharusnya tidak (kamu boleh tidak sepakat), kita semestinya mulai memerhatikan hal yang lain. Sebut saja membaca. Sebelum saya lanjut pembahasannya, mungkin ada diantara kita yang pikirannya sudah terlebih dahulu membandingkan lalu menyimpulkan: semua orang wajib menjaga kebersihan, tapi kalau membaca, ya pilihan. Tentu tidak salah berpikir seperti itu, tapi keliru dan naif.

Saya kira hanya orang-orang yang sudah merasa cukup pintar yang berpikir begitu. Anda termasuk? Bertobatlah. Mari kita lihat sejauh mana intensitas dan daya baca orang-orang di asrama, atau agak luas barudak PERMATA lah, jangan dulu Indonesia apalagi dunia (saya tak sanggup membayangkannya, apalagi menghitungnya). Kalau kita sadar dan mau menganggap ini persoalan serius, seserius kita meneriaki orang-orang yang tidak piket. Kita pasti bakal menepuk jidat lalu berkata: “Ning, tibang babaraha jelema”. Miris.

Kalau saya boleh berandai-andai. Andai saya adalah buku yang mampu berbicara secara langsung (verbal), ingin saya teriaki orang-orang yang hanya membeli saya lalu mengabaikannya begitu saja, mereka tak paham kalau saya adalah salah satu media pembangun bahasa dan peradaban, dan bagi mereka yang tidak mau membaca saya adalah calon-calon buah ketololan peradaban. Bakal mati dan dilupakan.

***

Saya kira proses membaca buku juga tidak bakal jauh berbeda dengan merawat kebersihan: kalau tempat berdiam diri cukup bersih tentu akan nyaman ditinggali. Pun membaca sama-sama punya dampak positif; mempertajam nalar, memperhalus perasaan (kita bisa lebih toleran menyikapi berbagai fenomena), memperkaya kosakata dalam kepala.        

hanya saja pikiran kita (seringkali lebih) dominan menimbang-nimbang untung ruginya saja. Membaca buku itu membosankan, belum lagi kalau menemukan kata-kata yang sulit dimengerti uhh mumet ndasku. Apalagi kalau kita baru memulai dan langsung mencoba membaca buku-buku yang tebalnya minta ampun seperti Das Kapital karya Karl Mark yang berjilid-jilid itu, atau mungkin buku-buku karya Karen Amstrong dimana banyak sekali ditulis menggunakan istilah-istilah ilmiah.

Sebetulnya membaca buku bisa menjadi kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menyebabkan kita kecanduan untuk membacanya. Asalkan dengan memperhatikan beberapa hal. 1) Mulailah dari membaca buku yang menurutmu sekiranya menarik, misal: novel. 2) Tingkatkan disiplin membaca, bisa dilakukan dengan membuat semacam terget, misal: membaca satu buku dalam seminggu. Dan kalau sudah terbiasa tingkatkan terus intensitasnya. 3) Cobalah main ke toko buku, tak harus langsung membeli, ini dilakukan hanya sekedar untuk mengakrabkan pikiran kita dengan karya-karya penulis yang bertengger di etalase toko buku. Barangkali ada kecocokan setelah kamu melihat-lihat karya-karya penulis penting/populer. 4) Dan terakhir, sering-seringlah main ke perpustakaan, perpustakaan kampus bisa jadi alternatif. Tapi kalau kamu punya uang kiriman lebih dari orang tua setiap bulannya, kamu bisa membuat perpustakaan kecil-kecilanmu sendiri di kamar kost mungkin?

Kapan kamu/kita akan memulai? Bisa kita mulai dengan dari ruang kamar masing-masing, atau kalau kita mau memulainya secara kolektif juga bisa. Di asrama gak sibuk-sibuk amat kok. Misal, kita tentukan waktu bersama untuk membaca dalam sehari selama tiga puluh menit. Keseringan? Bentrok sama jadwal kencan?  Ya, bisa seminggu sekali diadakan membaca bersama, dan kalau kamu punya pacar, diajak membaca bareng juga bisa kan? Ini berkaitan erat dengan membentuk lingkungan kondusif serta iklim yang mendukung.

Sedikit cerita saja. Pengalaman membaca  (buku) saya, dulu agak kasar. Saya ingat suatu ketika senior saya datang pagi-pagi ke sekretariat cuma sekedar untuk mengingatkan saya agar membaca buku. Saya seringkali malas-malasan, ya senior kalau gak dituruti kemauannya ngerti sendiri lah ya. Apalagi tipikal kepala batu. Kata-kata mutiaranya berhamburan kemana-mana. Belum lagi kalau ia sudah benar-benar jengkel, uhh.., kaki indahnya melayang ke kepala saya. Tapi hari ini saya merindukan perlakuan tersebut (walaupun agak kasar) . Berbeda dengan sekarang, daya baca saya menurun pun daya tangkap melemah. Sampai di sini saya paham: lingkungan dan iklim yang mendukung juga perlu.

Suatu waktu, Saya pernah nyeletuk: “Permata teh pigeulisen/pikasepen” sebab saya membayangkan, seandainya budaya membaca kita bisa terus tumbuh esok hari kita bisa mewariskan salah satu tradisi intelektual, ya, paling tidak kebiasaan baik lah ya. Wawasan dalam organisasi bakal sangat memungkinkan bertambah, orolannya juga (mungkin) bisa beranjak dari soal dapur dan ruang tamu. Biar gak itu-itu melulu. Singkatnya lagi kita gak bakal kehabisan bahasan/pertukaran wawasan. Obrolannya jangan bualan terus lah!

Jadi; yuk, mulai membudayakan baca buku (berjamaah).

16, Maret 2019

Sekretariat Permata-Yk keceh!

LOGO PERMATA