Bebal!
Malam itu di ruang tengah sedang berlangsung rapat, dalam rapat itu setiap orang berbicara terkecuali mereka yang tak terbiasa pasti membisu. Rapat-rapat yang dilakukan sekali dalam seminggu itu tak sama dengan rapat kelompok kiri dan kanan dalam parlemen Prancis; melahirkan terminologi gerakan kiri, wacana kiri, tokoh kiri, pemikiran atau apapun itu yang kekiri-kiri-an, tak sampai situ. Tak ada huru-hara bahkan hura-hura sekalipun. Tapi sesekali timbul nada menaik dari orang yang itu-itu saja, disitulah beberapa bola mata mulai mendelik dari kepala-kepala yang kebingungan.
Rapat itu datar dan membosankan, mereka yang sebenarnya tak sanggup lebih lama lagi duduk dalam lingkaran rapat seakan merelakan diri dikremus kata demi kata yang keluar dari mulut si Lembu. Apa boleh buat itu sebenarnya mereka lakukan semata-mata oleh karena rasa hormat. Ya, si Lembu jauh lebih dulu ada di tempat dimana mereka tinggal sekarang. Lembu pun menyukai itu; rasa hormat dari orang-orang muda yang jauh di bawahnya. Orang boleh berkata Si Lembu gila hormat, tapi tak mengapa Tokh ia tak peduli hal itu.
***
Ibarat nabi dalam dongeng-dongeng, membawa risalah ketuhanan pada umat di zamannya. Begitulah Si Lembu, ia akan berusaha menyeru tiap generasi yang hadir setiap tahunnya untuk percaya dan mau mengikuti aba-abanya. Ia pro terhadap status quo sekalipun dibangun atas dasar ketololan, andaikata ada orang selain dia, berusaha tampil di hadapan mereka-mereka yang sudah menahun ikut bersamanya niscaya tak segan-segan ia serang kalau perlu ia tendang. Lembu sama sekali tak menginginkan kepemimpinan oleh dua, tiga orang apalagi lebih. Ia telah menciptakan ruang dimana ia jadikan dirinya sendiri sebagai suri tauladan.
Hari-harinya dipenuhi dengan kebanggaan, kesempurnaan diri dan mereka yang melihatnya tak peduli itu. “Manunggaling kawula gusti; segalanya tentang aku, berasal dari aku, dan akan tertuju padaku” ucap Lembu setiap kali menatap cermin. Entah bagaimana Lembu menemukan slogan itu. Sekarang ia bak seorang sufi yang tengah mengarungi jalan tasawuf tanpa (kepastian) menemukan Tuhan. Jadilah ia Tuhan atas dirinya sendiri.
Lembu tak memerlukan sumber, percontohan atau apa pun itu. Ia bebas berucap tanpa harus berpikir lebih dulu. Kadang ia sendiri lupa apa yang diucapkannya entah itu sampah sekalipun. Yang terpenting baginya sekarang adalah bagaimana agar mereka tetap mengangguk atas setiap ucap dan titahnya. Subhanallah.
Griyo Coffee, Jogja, 11 November 2018