Balasan Untukmu Rumi

  • by

Balasan Untukmu Rumi


Biar kutebak, kau pasti tengah merasa sebal dengan orang-orang yang petangtang-petengteng membanggakan formalitas diri padahal otaknya kosong! Saranku, maklumi saja orang-orang yang demikian, atau kalau tidak kau sama saja seperti mereka. Rumi, terimakasih atas sanjunganmu soal aku dan Paulo Freire, tapi kenyataanya adalah saat dimana kau muak dengan perilaku orang-orang sekitarmu yang menghamba pada secarik kertas bernama ijazah. Menurutku kau yang pantas disebut pengemban konsepsi pemikiran Freire.

Rumi, patut kau ketahui suatu hal tentang aku, dan (cara) bagaimana kau melihatku. Kusimpulkan kalau kau menganggapku masih berpegang teguh pada idealitas, soal pendidikan, hanya karena aku mampu melanjutkan studi ke New York. Mungkin iya, tapi tidak sepenuhnya begitu. Terkadang aku berpikir yang kulakukan saat ini hanya sebatas memenuhi tuntutan moral dari orang tuaku saja, tak lebih dari itu. Meskipun dalam diriku pribadi aku masih meyakini prinsip akan pentingnya mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Namun diluar dua hal itu, aku mempunyai motivasi lain.  Karena aku perempuan; hanya  akan dianggap budak belian tak bernilai kemudian Cuma dimengerti sebagai objek berkembang biak. Bagai domba.

Dan beginilah caraku menjawab cara pandang yang demikian; menapaki hierarki pendidikan formal hingga aku sampai batas diri dan tak mampu lagi bergulat dengan hiruk pikuk dunia akademis.

Oh ya, soal Temudjin aku kembali teringat dimana ketika itu kau sedang membaca sebuah novel berjudul: The Chronicle Of Jenghis Khan di beranda kelas, kalau tidak salah itu saat kita masih kelas dua SMA. Kau membutuhkan waktu tiga hari menyelesaikan buku itu, sementara aku hanya membutuhkan waktu semalam untuk bisa selesai melumatnya. Kemudian setelahnya seharian penuh perbincangan kita dihabiskan untuk mendiskusikan isi novel itu. Aku bersikeras soal pemenangan Temudjin mempersatukan bangsa Mongol dikarenakan peran Borte yang tak jemu-jemunya setia di samping Temudjin, dan kau malah sebaliknya ngotot tak mau mengakui itu.

Entah karena aku yang terlalu menjiwai cerita Temudjin atau karena memang ceritanya sendiri yang begitu kuat sehingga siapapun merasai dirinya terbawa alur cerita. Waktu itu aku merasa bagai Borte yang amat setia menunggui Temudjin, mendengar setiap keluh kesah si lelaki yang kelak bakal menjadi penakluk dunia itu. Tapi terkadang aku juga merasa seolah-olah ada pada posisi Jamukha; manusia picik, munafik, dan errkh.. penghianat, menjijikan. Tapi aku suka.

Rumi menurutku sangat tidak adil apabila kau membandingkan Temudjin dengan orang yang kau sebut sebagai pemimpinmu itu. Dari penjabaran karakter dua orang yang kau bandingkan saja sudah amat berbeda jauh, satu bermental baja sedang satu lagi bermental tempe. Itu cara yang terlalu kejam bagiku.

Menginginkan orang lain menjadi sepertimu sama halnya kau (hendak) membunuh ia secara perlahan, kalau kau masih seperti itu segeralah hentikan Rumi. Perlakukan siapapun sama seperti kau memperlakukanku: membiarkan aku menjadi apa yang aku inginkan, membiarkan aku menghirup kebebasanku. Maka dengan begitu orang akan menaruh hormat padamu seperti yang kulakukan padamu, bukankah begitu seharusnya Rumi ?

Tapi caramu membaca Temudjin, soal lingkungan yang membentuk kepribadiannya. Harus kuakui aku baru ngeh dan itu bagian yang tidak aku temukan dalam narasi cerita, kecuali kalau kita coba merabanya melalui imajinasi sehingga mungkin apa yang ada dibalik teks akan nampak dengan sendirinya.

Satu tahun lagi aku lulus. Usahakan kau tetap sendiri, setelahnya ayo kita bangun taman kecil bagi gelandangan, bagi kaum papa. Rangkaian mimpimu dulu yang sekarang juga menjadi mimpiku: dunia kecil dimana mereka bisa melupakan kesengsaraan, kepedihan dan duka lara dari kejamnya dunia ini.

Griyo Coffee, Jogja, 8 November 2018

Cerpen terkait:

Surat Untukmu Maria

  1. Maria: Tentang aku dan Temudjin
  2. Balasan Untukmu Rumi

Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *