Manusia : Hidup dalam bayang-bayang kepalsuan

MANUSIA : Hidup Dalam Bayang-Bayang Kepalsuan


Membaca manusia memang sangat membingungkan, dikatakan binatang dia bukan, tapi pada kenyataannya dirinya memang binatang. Secara struktur tubuh bisa dikatakan manusia mirip dengan hewan vertebrata, namun secara pikiran dan perbuatan mereka berbeda. Apabila kita runtut dari lahirnya, dapat ditebak bahwa hewan, secara kehidupannya monoton, singa dari dulu terkenal ganas, namun beda halnya dengan manusia, di satu sisi dia bisa ganas di sisi lain dia bisa ramah. Sehingga kita pun berpikir manusia itu pada dasarnya baik atau buruk. Hobbes pernah mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, namun Jhon Lock mengatakan sebaliknya bahwa manusia itu jahat. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya dapat dibantah, dengan tolak ukur kehidupan manusia, ternyata di dunia nyata buruk dan baik itu ada dalam diri manusia. Selain itu kategori buruk dan baik akan berbeda peletakannya dalam satu masyarakat tertentu, seperti seks bebas di barat bisa dikatakan lumrah atau memang sudah menjadi kebudayaan mereka, berbanding terbalik dengan di Indonesia hal tersebut bahkan dapat di sanksi baik secara sosial dan hukum. Alhasil menemukan diri manusia itu sendiri ternyata akan berbeda versi tergantung dimana peletakannya.

Dalam pengkajian baik dan buruk dalam diri manusia, tentu kiranya tidak bisa menggunakan cara yang telah lumrah yakni penguraian. Dalam metode penguraian sebenarnya, kita sudah tahu tujuan tersebut, namun hanya perlu menjelaskan lebih mendalam untuk menemukan kesesuaian. Seperti halnya kita tahu kategori buruk dan baik yang dapat diterima, sehingga yang dilakukan hanya mencari kesamaan dan kesesuaian dari kategori-kategori tersebut. Semisal di suatu tempat sudah menentukan kategori baik dan buruk sehingga tolak ukur sikap manusia harus sesuai dengan kategori baik dan buruk di tempat tersebut. Jika kita katakan bahwa baik dan buruk merupakan simbol, Sehingga pola yang digunakan hanya sebagai interpretasi dan cenderung hanya menjelaskan makna dan penyesuaian makna tersebut. Namun dalam metode tersebut telah luput untuk menjelaskan hukum pembentukan simbol, sedangkan adanya simbol tak luput dari pembentukan dalam dirinya sendiri. Adanya kategori baik dan buruk tak luput dari hasil pembentukan hal tersebut.

Sebelum berangkat pada pembentukan simbol baik dan buruk, alangkah baiknya kita renungkan dan pahami perjalanan manusia. Katakanlah si A terlahir sebagai manusia yang hidup dengan Pendidikan dan kultur agamawan. Setiap hari si A melihat dan melakukan, apa yang seharusnya agamawan lakukan. Sehingga lambat laun proses tersebut membentuk pandangan dan tolak ukur dalam menilai baik dan buruk. Namun pada masa perkuliahan si A menemukan kultur baru yang menghadirkan tata nilai yang begitu berbeda dari sebelumnya. Sehingga ada kebimbangan dalam dirinya, antara mempertahankan dirinya atau menerima nilai dari luar. Ketika dia mepertahankan nilai yang dulu, dia tidak bisa berekspresi secara leluasa karena dalam ruang tersebut telah mempunyai tata nilai ekpresi sendiri. Alhasil mau tak mau si A mengikuti nilai tersebut, dan nilai baru itu masuk kedalam ruang sadar si A, sehingga (si A) menemukan tata nilai yang baru pula.

Dalam pemaparan diatas ada beberapa yang harus kita pahami, pertama pembentukan pandangan manusia ternyata tak luput dari struktur dan hukum yang telah ada. Dalam kasus si A tadi, ternyata dalam dirinya tidak mempunyai nilai alami melainkan bentukan dari kultur agamawan dan perkuliahan. Bentukan itu akhirnya masuk kedalam cara pandang dan tata nilai kehidupannya, mengapa demikian ? karena apabila si A berbeda dengan kultur tersebut maka dia akan dianggap berbeda. Sehingga pola yang dilakukan si A adalah bagaimana menyesuaikan dan menyamakan tingkah lakunya sesuai dengan aturan yang telah masuk kedalam tata hidupnya. Kedua, pembentukan identitas, ketika si A memahami realitas disekelilingnya, sadar tak sadar saat itu dia telah mencoba untuk membentuk identitasnya. Walaupun identitas tersebut merupakan bentukan atas pemahaman terhadap tata nilai yang telah berlaku. Ketika dia menginginkan bentukan identitas baru dan hal itu berbeda dengan yang telah berlaku, maka akibatnya dia terasingkan.

Dalam penjelasan diatas ternyata diri manusia dalam proses pembentukannya tidak luput dari bentuk dan hukum sebuah realitas. Realitas tersebut melahirikan aturan yang membentuk kepribadian setiap manusia. Artinya ternyata dalam diri kita terdapat sistem yang mengontrol cara hidup dan bahkan kita seakan-akan tidak memiliki kekuasaan dalam mengontrol diri ini secara hakiki. Hal itu dapat dilihat ketika seorang gay, ingin menuntaskan kebutuhan biologisnya, namun karena struktur masyarakat menganggap bahwa hubungan seks yang seharusnya adalah laki-laki dengan perempuan. Alhasil mereka yang menyukai sesama jenis dianggap salah dan patut diberikan sanksi, walaupun pada dasarnya gay juga melakukan tersebut atas dasar naluriah, begitupun manusia umumnya melakukan seks atas dasar naluriah. Dalam hal tersebut terdapat kekuasaan yang telah di manifestasikan kedalam simbol baik dan buruk, sehingga pola dan sikap seseorang harus sesuai dengannya. Namun apabila kita lihat kedalam artian simbol itu sendiri, dia tak luput hanya sebuah benda mati yang telah dibuat oleh orang tertentu. Artinya simbol baik dan buruk pasti ada yang membuat dan dalam dunia tak luput dari manusia itu sendiri sebagai pembuatnya. Jika manusia sendiri sebagai pembuatnya, otomatis ada beberapa kemungkinan dia melakukan hal tersebut. Pertama, bentuk pengontrolan pada manusia lain, dia tahu bahwa manusia sebenarnya mempunyai nalar dan mempunyai potensi untuk mengontrol dirinya sendiri. Sehingga apabila hal itu dibiarkan demikian maka manusia akan bebas dan bahkan bisa menjadi saingan dengan dirinya sendiri. Kedua, memanifestasikan tujuan, ketika semua manusia telah terkontrol dengan sebuah aturannya, maka akan mudah baginya untuk melakukan sebuah tujuan besar padanya. Tujuan besar tersebut bukan berdasarkan kebutuhan manusia lain, tapi bagaimana melanggengkan dan mencurahkan tujuannya sendiri.

Di Indonesia sendiri terdapat tujuan yang dicantumkan dalam Pancasila yakni Keadilan Sosial. Dalam hal ini artinya semua manusia mendapatkan ruang untuk menerima keadilan, baik secara jasmani dan rohani (kepuasan), apabila seperti itu kaum gay harus mendapatkan keadilan tersebut bahkan tentang kepuasan dirinya juga harus terjamin. Namun kenyataanya berbeda, mereka tidak diberikan ruang bahkan cenderung termarjinalkan, karena keadailan sosial di Indonesia masih terkungkung oleh moralitas yang sudah mengakar. Sedangkan moralitas tentu saja bukan hasil tiba-tiba jadi, artinya pasti ada sebuah pembuatan yang membentuk itu, ataukah memang pada masa pembuatan tersebut kaum gay tidak ikut berpartisipasi. Dalam sejarah Indonesia dapat diketahui tak luput dari ekspansi gerakan moralis (agama, keyakinan), baik yang berasal dari luar ataupun dari Indonesia sendiri. Dalam gerakan tersebut mempunyai nilai luhur yang harus dipegang, terutama tentang etika. Etika ini masuk kedalam keseharian dan dilakukan terus menerus sehingga melahirkan kebudayaan. Lalu datanglah sebuah etika baru yakni etika Pendidikan, dimana dimulai pada masa politik Etis awal abad ke-20. Akhirnya Pendidikan tersebut menjadi kebudayaan Indonesia, namun tetap kebudayaan pada masa lalu masih berpegang teguh dalam diri Indonesia hingga masa kini. Sehingga rasionalitas Indonesia tidak luput dari sebuah tata nilai yang berlaku. Salah satu etika yang tersimbolkan bahwa laki-laki itu harus berhubungan sex dengan perempuan. Sebenarnya apabila kita runtut mengapa laki-laki harus dengan perempuan, karena intinya adalah menghasilkan keturunan. Pada masa kerajaan pasti membutuhkan generasi dan hal itu terciptakan atas perkawinan perempuan dan laki-laki. Namun akan berbeda apabila sex hanya dilakukan hanya sebatas pemuas diri, bisa saja seorang laki-laki akan puas ketika sex Bersama laki-laki.

Sebenarnya dalam tulisan ini penulis bukan bermaksud mendukung homo seksual dan bukan termasuk pelaku hal tersebut. Hanya saja penulis ingin menghadirkan bahwasannya manusia itu tidak murni dan seakan-akan penuh kepalsuan. Hal itu dapat dilihat tentang pemahaman symbol benar dan salah ternyata itu hanya sebagai bentukan dari pemahaman terhadap realitas hukum yang telah berlaku. Sehingga apabila dianalogikan manusia itu ibarat cermin, dia akan melihat sesuai dengan keadaan cermin tersebut, apabila cermin itu cekung maka realitaspun cekung juga. Sedangkan cermin tersebut juga hasil dari sebuah pembuatan dari si tukang cermin. Artinya jika dia memandang manusia dengan kaca agama maka semuanya harus sesuai dengan agama, begitupun dengan menggunakan ilmu lainnya, sehingga dia hanya melakukan penguraian dari ilmu tersebut. Namun lupa bagaimana pembentukan ilmu, alhasil kita masuk kedalam penguasaannya tanpa menyadarinya.

penyunting: Abdul Majid


Lainnya

1 tanggapan pada “Manusia : Hidup dalam bayang-bayang kepalsuan”

  1. Pingback: Dinamika Ala Gado-Gado – PERMATA Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *