Surat untuk Maria
Maria, dalam diamku mereka seringkali membuatku tertegun; akan pentingnya status Pendidikan. Kau paham maksudku, Pendidikan dalam arti formal bukan subtantif. Ya, melalui secarik kertas bernama ijazah kita pertaruhkan tahun-demi tahun dengan sama sekali kurang menyentuh nilai kemanusiaan; mereka kira mereka siapa ? Tuhan ?
Satu-satunya manusia yang masih perduli dengan misi “Pendidikan” tanpa mengesampingkan tujuan memanusiakan manusia, kurasa hanya dirimulah yang memahami itu. Dan tidak berlebihan rasanya jikalau kusebut kau sebagai pengemban konsepsi mbah Freire tentang Pendidikan yang membebaskan.
Maria ingin kuceritakan langsung padamu tentang lingkungan baruku, namun sayang sekali jarak antara Yogya- New York sama dengan jatah hidupku satu tahun disini, mungkin bisa saja besok atau lusa aku menemuimu tapi setelahnya dompetku akan terkuras habis, atu lebih menakutkan dari itu orang tuaku yang masih berjuang dari kemiskinannya bisa mati mendadak. Jadi setelah kupikir; kuurungkan saja niatanku itu dan lebih baik kuceritakan melalui pesan tertulis ini.
Baiklah kumulai apa yang kumaksud: kau sudah pasti paham cerita Temudjin ketika menaklukan satu-persatu lawan-lawan penghalang impiannya; mempersatukan bangsa Mongolia kemudian ia merasa benar-benar layak menjadi Jenghis Khan, tapi tak lama setelah ia memasuki daratan Cina, ia dibuat terperanga melihat betapa maha hebat dan majunya peradaban bangsa Cina: bangunan-bangunan megah dari tembok, sementara kaumnya masih nomaden dan hidup dibawah tenda-tenda dari kulit hewan buruan.
Bagian yang paling kusuka dan aku yakin kau pun begitu, adalah dimana saat Temudjin merumuskan ulang cara ia memandang dunia. Dimana disitulah aku merasakan kebijaksanaan seorang Temudjin sehingga dia layak disebut Jenghis Khan. Ia sadari dan ia akui bahwa kaumnya masih terhitung jauh dibelakang peradaban bangsa-bangsa lain; kaumnya masih banyak yang buta hurup, bertahan hidup cuma dari hasil berburu dan tidak dari cara lain. Maria, bagiku Temudjin dianggap besar dan kisahnya mampu menembus ruang dan waktu bukan hanya karena luas kekuasaanya saja, bukan karena kebengisannya. Melainkan karena kesadarannya tentang diri yang masih perlu mempelajari banyak hal tentang diri dan dunia.
Alhasil kau tahu sendiri betapa luar biasanya ia yang mampu menaklukan hampir seperempat dunia, dan itu dilanjutkan oleh Hulagu Khan penerusnya. Maaf Maria aku hampir melupakan inti bahasan yang ingin kuceritakan padamu, harap kau maklumi itu kukira kau sudah terlebih paham caraku menyampaikan sesuatu; pasti berkelok-kelok melalui cerita dan kadang itu kulakukan tanpa kusadari.
Aku yakin kau akan paham apa maksud dibalik ceritaku ini, tentu akan sangat mudah bukan bagimu menyimpulkan arah ceritaku. Tapi bukankah tidak semua orang punya daya tangkap setajam dirimu. Yang kumaksud adalah pembaca.
Begini, Temudjin terlatih oleh karena kondisi lingkungan yang mendukung dan memungkinkan ia mempunyai insting serta mentalitas luar biasa hebat. Daratan Mongolia yang terkenal dengan perubahan cuaca cukup ekstrem membuat klan-klan berusaha untuk berkompetisi mempertahankan hidup dengan cara berburu, hewan buruan menjadi objek semua klan dan perebutan akan hewan buruan sulit dihindarkan. Otomatis kepentingan utama adalah bagaimana agar masing-masing klan bisa bertahan, soal nasib klan lainnya ya terserah. Setiap pemimpin klan punya pikiran itu (keselamatan klannya).
Namun itu tidak terjadi pada diri seorang Temudjin, ia punya cita-cita lebih besar ketimbang soal kepentingan perut, yaitu; mempersatukan klan-klan menjadi satu bangsa bernama Mongolia dan itu yang tidak dimiliki oleh pemimpin klan-klan lainnya.
Sementara, lingkunganku saat ini adalah tempat dengan Kasur-kasur empuk di tiap-tiap pojok kamarnya, pembantu mekanistik yang sedia mencuci pakaian-pakaian kotorku, dan uuuh masih banyak lagi kenikmatan serta kemudahan-kemudahan yang kudapat dari tempat ini. Satu lagi, Maria; ibarat klan-klan di Mongolia sana, aku juga berasal dari klan tertentu, mungkin juga sama sepertimu yang berdarah Jawa dan tidak semua seorang Jawa sama. Klanku, klanmu adalah entitas-entitas kecil bagi tegaknya repuklik ini, tapi tiap klan punya pemimpin bukan ? pemimpin klanku kebalikan dari apa yang ada pada diri Temudjin, kalau Temudjin memiliki mentalitas bagai baja, insting setajam ujung tombak; mampu membaca musuh dalam keadaan apapun.
Sementara pemimpinku berdiri diatas mental tempe serta mengintai dengan insting keledai dan seringkali bersembunyi dibalik lipatan kutang perempuan. Tapi bagaimanamun seperti yang kujelaskan sebelumnya bahwa lingkungan adalah pebabnya sedang fenomena yang terjadi pada pemimpinku adalah akibat dari sebab lingkungan yang membentuk ia seperti itu, mungkin lingkungan yang harus diubah (sebab) bukan si pemimpin. Tapi persoalannya, berkaca dari cerita Temudjin di Mongolia sana lingkungannya tercipta oleh siklus alam dan yang berhak merubah siklus alam adalah Tuhan melalui pasukan-pasukan ghaibNYA.
Kau pasti paham dan memang bukan rahasia umum; apabila manusia mencoba menjadi Tuhan. Terakhir kali Fir’aun mati dalam keadaan menghinakan belum lagi namanya diabadikan dalam bait-bait kitab suci, uuhh bukan begitu cara mati yang kuinginkan Naudzubillah Tsumma Naudzubillah.
Astagfirullahaladzim ! semoga saja aku sedang tidak menyamakan Temudjin dengan pemimpinku, tentu saja Tuhan menciptakan kita berbeda-beda. Menyamakan apa yang sudah menjadi ketentuanNYA berarti pembangkangan !
Tapi, tetap saja Maria. Khayalku yang liar ini terus bertanya-tanya akan suatu pertanyaan; bagaimana seandainya dua orang itu ditukar tempat: Temudjin di tempatku dan pemimpinku di Mongolia sana, huh..hah mungkin sejarah dunia bakal gonjang-ganjing terbalik dan pada akhirnya kita tak akan menikmati sensasi cerita yang sudah ada.
Joglo Kopi, Jogja, 03 November 2018 (dalam gelak tawaku)
Cerpen terkait:
Surat Untukmu Maria